IHTIKAR
(Monopoli Pasar dan Penimbunan Barang)
Dalam agama
Islam kita memang di halalkan dan di suruh untuk mencari rezki melalui berbagai
macam usaha seperti bertani, berburu atau melakukan perdagangan atau jual beli.
Namun tentu saja kita sebagai orang yang beriman diwajibkan menjalankan usaha
perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus menurut Alquran
dan Sunnah, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang
Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah
SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam,
menjelaskan berbagai macam syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh para
pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan
dan mematuhi apa yang telah di syariatkan tersebut, suatu usaha perdagangan dan
seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah
Allah SWT di dunia dan di akhirat.
Selain harus mengetahui bagaimana
jual beli yang di perbolehkan dan sah menurut hukm islam, kita juga dituntut
untuk tahu apa saja jual beli yang dilarang oleh Islam, agar kita tidak
terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Allah SWT, untuk itulah dalam makalah
sederhana ini saya akan membahas satu dari sekian banyak jual beli yang tidak
diperbolehkan, yaitu monopoli atau Ihtikar. Tentang apa dan bagaimana ihtikar
itu menurut pandangan hukum Islam.
MONOPOLI PASAR
(IHTIKAR)
A. Pengertian
Ihtikar
Monopoli atau ihtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di
masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan
besar, sedang masyarakat dirugikan(1). Menurut Adimarwan “Monopoli secara
harfiah berarti di pasar hanya ada satu penjual”(2). Berdasarkan hadist :
عَنْ سَعِيدُ بْنُ
الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
dari Sa’id bin
Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma’mar, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,
‘Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa’,” (HR Muslim (1605). jelas
monopoli seperti ini dilarang dan hukumnya adalah haram, karena perbuatan
demikian didorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri
sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga menunjukan bahwa
pelakunya mempunyai moral dan mental yang rendah.
B. Hukum Ihtikar
Para ulama
berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1.Haram secara
mutlak (3) (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda
Nabi SAW:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ
خَاطِئٌ
“Barangsiapa
menimbun maka dia telah berbuat dosa”. (HR. Muslim 1605)
Menimbun yang
diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga kriteria:
a. Barang yang
ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun
penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun
sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun
untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan
rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan
harga mahal.
c. Yang ditimbun
(dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan
lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi
tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka
itu tidak termasuk menimbun.(4)
2. Makruh secara
mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi
umatnya.
3. Haram apabila
berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan
alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat
lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ
خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي
كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
“Barangsiapa
menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa’id ditanya, “Kenapa engkau
lakukan ihtikar?” Sa’id menjawab, “Sesungguhnya Ma’mar yang meriwayatkan hadits
ini telah melakukan ihtikar!’ (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil
Bar mengatakan: “Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma’mar (perowi hadits)
hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah
khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi
seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi’in
[mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits
larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang
dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4. Haram ihtikar
disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan
tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran
Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila
ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka
perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang
yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang
menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian
manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5. Boleh ihtikar
secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan
orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih
dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti
dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ
حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ
Dari Ibnu Umar
r.a. beliau berkata: “Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan
tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali
harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu.” (HR. Bukhori
2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Asqolani berkata:
“Imam Bukhori
sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena
Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih
dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar
itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu.” (Fathul
Bari 4/439-440).(5)
Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama
yang mengharamkan ihtikar setiap waktu
secara mutlaku, tanpa membedakan masa paceklik dengan masa surplus pangan,
berdasarkan sifat umum larangan terhadap monopoli dari hadits yang sudah lalu.
Ini adalah pendapat golongan salaf.
C. Hikmah di
Balik Larangan Ihtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari
larangan ihtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum,
oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih,
sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada
orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan
cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian
juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan (seperti pakaian musim dingin
dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan
mereka, maka hal ini dilarang dalam Islam(6).
Islam mengharamkan orang menimbun
dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya
dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman
dalm surat At Taubah ayat 34-35:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ (34) يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ
وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ
تَكْنِزُونَ (35)
“Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah
maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan
kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Menimbun harta maksudnya
membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta
itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi,
maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi
pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah
pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi,
baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana
yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang
menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang
mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi,
perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut
memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju
perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh
negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan
distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia
Monopoli merugikat rakyat kecil |
D. Kesimpulan
Monopoli atau
ihtikar artinya menimbun barang agar
yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun
memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum ihtikar ada yang berpendapat Haram secara mutlak, makruh
secara mutlak, haram apabila berupa bahan makanan saja, haram ihtikar
disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah dan pula yang
berpendapat bahwa ihtikar itu boleh.
Sumber : Dompet Ilmu
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya
Terima kasih sudah berkunjung,...